Jejak sang senja mulai memerah sedikit memudarkan warna saga di sudut sang penerang hari. Terlintas tentang sosokmu yang mulai ku tata dalam bingkai hatiku, sosok yang menggerogoti jengkal hatiku, perih, sepintas ku ingat wajah yang muram dan layu tersenyum penuh arti.
"Dinda, inikah saatnya?" pungkasmu
Aku hanya tertunduk diam sejenak, dan mulai kukembangkan senyuman terbaikku untuk sekedar mengurangi beban hatimu. Kita akan selalu bersama, selalu itu yang kutekankan
"Kita akan pergi berlibur bersama" jawabku dengan senyuman. Kudapati senyummu yang indah serta merta kau menjawab.
"Indah, selalu bersamamu, namun ragaku tak sekuat dulu. Berdiam dalam kamar sempit ini pun menjadi indah ketika ku lihat senyuman dan ketabahanmu" .
Tidakkah kau tau aku ingin berjalan bersamamu diantara rumputan yang hijau dan sejuknya angin yang menerpa wajahmu yang mulai menua itu. Meskipun kau tak segagah dulu lagi yang mampu membopongku dari pintu rumah kita sampai keatas ranjang, dan meskipun kau tak lagi setampan dulu yang selalu rajin mencukur kumis dan berkemaja rapi, dan meskipun kau tak seromantis lelaki yang selalu membawakan bunga sepulang kerja. Namun kau tetap menjadi imam terbaikku sekalipun kau tergolek lemah diatas ranjangmu.
Setiap ku ingat celotehmu dimeja makan, yang selalu cerewet menilai masakanku yang tak sejago koki restoran.Caramu menilai ku rindu, yang kini hanya bisa menyantap tak lebih makanan lembek dan sesuai ajuran dokter. Namun kau tetap saja bandel, tak mau makan, tau kah kau sayang aku mengkhawatirkanmu melebihi rasa sayangku.
"Aduh...."
Rasa sakitmu datang lagi.. Ya Tuhanku.. Ya Rabb..
Dengan hati-hati ku ambil air minum untukmu, yang disana ku letakkan berjuta harapan sakitmu dapat berkurang. Sayang berikan rasa sakitmu untukku, sehingga ku bisa mengurangi bebanmu dan merasakan apa yang kau rasakan. Tidakkah selama ini kau tak pernah mengeluh tentang sakitmu dan tak pernah mengeluh menafkahiku dan anakku. Karena kau selalu tak tega lehatku dan anak-ankku merengek padamu. Kini ku lihat kau tak berdaya disana, di kamar sempit dan lembab kita.
Dzikir ku selalu tak pernah henti berharap Rabbku bermurah mengurangi rasa sakit dan menyembuhkanmu.
"sayang... tidakkah kau ingat saat kita bertemu dulu?" ucapmu membuyarkan lamunanku.
"ya.. ingat.." jawabku senyum
"aku selalu mengingatnya, tak pernah luntur dari ingatanku. Kau begitu sempurna bagiku dan adakah kau tau aku yakin kau pasti akan menjadi istri dan ibu dari anak-anakku."
ku sandarkan kepalaku disamping bantalnya dan mulai mengingat-ingat masa dulu.
"saat ku ingin melamarmu, adakah kau tau kakiku gemetaran dan janjtungku tak berhenti berdebar-debar. Bukan ku takut orang tuamu menolakku karena ku yakin kau lah jodohku tapi karena ku takut ku tak bisa berkata-kata ketika bertemu denganmu. Membayangkan wajahmu rasanya membuatku tak mampu berpikir. Saat itu aku benar-benar seperti orang gila yang harus segera di obati, dan kau lah obatnya.Aku rasanya begitu lega dan bangga ketika orangtuamu merestuiku sebagai calon suamimu. Sepulangnya dari rumahmu, Aku seperti mendapatkan hidupku penuh dengan keindahan dan tak sabar ingin segera bertemu denganmu lagi."
Kecupan hangatnya menyentuh dahiku. Masih sehangat dulu dan seindah dulu.
"sayang....." sapamu dengan wajah penuh keringat dan wajah yang menahan sakit.
"Ya Rabbi...." teriakku.
bersambung....